Oleh : Putra Chaniago, M.Sos
Pada zaman dahulu, suluah (suluh) merupakan alat penerangan yang masif digunakan di malam hari oleh masyarakat di Minangkabau. Biasanya setiap rumah menyediakan suluah, yang kemudian digunakan bila ada anggota keluarga hendak melakukan perjalanan keluar rumah dalam kegelapan malam. Suluah menemani aktifitas masyarakat yang dilakukan dimalam hari, seperti berangkat ke surau untuk sholat, belajar mengaji, bersilat, atau pergi ke lapau untuk bercengkrama dengan kawan sejawat.
Secara filosofis, suluah berfungsi sebagai penerang. Bila di maknai secara lebih mendalam, maka suluah diumpamakan sebagai kehadiran sosok pemimpin masyarakat yang mampu memberikan penjelasan, penunjuk arah, yang akan membawa masyarakat untuk dapat menempuh jalan yang benar. Sekaligus sebagai tempat mengadu apabila masyarakat menghadapi problematika. Mereka adalah orang yang mampu memberi solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dalam hal spiritual dan keagamaan akan dihadapkan kepada para Alim Ulama. Masalah adat dan budaya yang diselesaikan Bersama para Niniak Mamak. Adapun dalam hal permasalahan sosial, seperti politik, ekonomi, dan inteletual, kemudian dimintailah pendapat kepada para Cadiak Pandai. Oleh sebab itu, mereka dipandang sebagai suluah bendang dalam nagari yang memegang kepemimpinan terhadap tiga entitas tersebut yang berjalan secara koletif di tengah masyarakat.
Dewasa ini, Minangkabau berhadapan dengan berbagai persoalan yang melanda anak kemenakan. Berbagai kasus yang terjadi sangat memilukan hati masyarakat Minang baik yang ada di ranah maupun di perantauan. Berita-berita serupa tindakan asusila dan berbagai penyimpangan sosial lainnya terus tersebar di media massa, Ini menunjukkan bahwa Minangkabau telah mengalami degradasi moral, serta kian menjauhnya masyarakat Minang dari nilai-nilai adat dan agama. Kemudian ini menjadi indikasi serius terutama mengenai peran para suluah bendang di dalam nagari.
Apakah suluah masih menyala dan menerangi masyarakat, atau ia sudah mulai padam sehingga turunnya wibawa dan peran mereka di tengah umat? Bilamana hal tersebut benar terjadi, maka di dalam nagari tersebut kehilangan suluah yang menerangi masyarakat. Anak kemenakan akan berjalan dalam kegelapan sehingga banyak nilai-nilai yang di tabrak. Bahkan masyarakat akan jatuh dalam jurang dan terjerambab dalam kubangan kehinaan. Situasi demikian sangat miris bila terjadi. Suatu kondisi yang sangat mengkhawatirkan dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Perlu adanya dorongan serius agar suluah tetap menyala dan menerangi masyarakat.
Baru baru ini, Kota Bukittinggi lewat walikotanya mengeluarkan keputusan untuk menerapkan kembali 5 mata pelajaran dalam kurikulum Pendidikan di tingkat SD dan SMP Negeri. Ini menjadi angin segar bagi para pemerhati sosial dan Pendidikan Minang. Mereka beranggapan bahwa keputusan Walikota tersebut sangat tepat untuk diambil. Mata pelajaran seperti Budaya Alam Minangkabau, Al Qur’an - hadits, Fiqh, Aqidah Akhlak dan Sejarah Islam perlu untuk diterapkan kembali. Pentingnya menanamkan keilmuan dan kepekaan sosial serta pemahaman terhadap budaya Minangkabau, adat basandi syara’, syarak basandi Kitabullah.
Kebijakan tersebut menandakan bahwa masih ada suluah yang memberikan harapan untuk mewujudkan generasi muda kota Bukittinggi yang lebih memahami adat dan budaya Minangkabau serta memiliki landasan agama yang kuat. Demikianlah wujud amanah Walikota sebagai suluah Bendang di nagarinya yang sejalan dengan tugasnya sebagai urang nan cadiak pandai. Menghadirkan solusi untuk menekan degradasi moral dan penyimpangan lainnya dalam menghadapi masa depan kota Bukittinggi lewat jalur pendidikan. Mengingat Bukittinggi adalah Kota yang penuh sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan lahirnya tokoh tokoh besar di masa lalu.
Begitulah pentingnya para suluah dalam mengayomi umat. Tanggung jawab secara kolektif antara alim ulama, niniak mamak dan cadiak pandai, dukungan dari para guru dan orangtua, serta seluruh masyarakat Minangkabau dalam mempersiapkan pemimpin bangsa di masa depan dimulai dari sejak dini. Dengan seimbangnya anatara pendidikan budaya dan agama. Gebrakan yang telah dilakukan Kota Bukittinggi ini dapat diterapkan pula oleh seluruh pimpinan daerah di Sumatera Barat. Agar terus fokus memperhatikan dan mempersiapkan generasi nanti dari sejak dini, dengan bekal ilmu agama yang mantap, pemahaman adat yang benar serta motivasi dan semangat belajar yang tinggi. Dengan demikian wacana mempersiapkan pemimpin Indonesia 2045 dari Minangkabau tidak hanya menjadi bualan politik semata, tapi mampu mengejawantahkan dalan aksi nyata. Semoga.!!
